Jakarta -Dalam lima tahun terakhir, transfer pricingtelah menjadi isu global yang kompleks dan tidak bisa diselesaikan secara parsial.
Kepentingan yang berbeda antar pelaku bisnis dengan kantor pajak di berbagai negara, membuat isu ini menjadi tidak mudah diselesaikan. Indonesia tidak mungkin terhindar sepenuhnya dari dampak praktik transfer pricing.
“Karena itu, pemerintah harus mempersiapkan regulasi dan law enforcement yang kuat untuk menjaga kepentingan Indonesia terlindungi dari praktik-praktik seperti itu,” kata Anggota Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Maliki Heru Santosa, dalam acara “Transfer Pricing in The Era of Transparency,” di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Selasa (15/9/2015).
Apa itu transfer pricing?
Transfer pricing merupakan isu klasik di bidang perpajakan, khususnya menyangkut transaksi internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional.
Dari sisi pemerintah, transfer pricing berpotensi mengurangi penerimaan pajak negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak tinggi (high tax countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak lebih rendah (low tax countries).
Di pihak lain dari sisi bisnis, perusahaan cenderung berupaya meminimalkan biaya-biaya termasuk di dalamnya minimalisasi pembayaran pajak perusahaan.
Praktik transfer pricing ini diduga telah menimbulkan kerugian di sektor perpajakan mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah.
Praktik tidak wajar ini, cenderung menguntungkan bagi negara-negara yang justru melindungi praktik-praktik tidak terpuji, seperti negara-negara tax haven.
Maliki menjelaskan, sebenarnya tujuan utama transfer pricing adalah mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan.
Tetapi, sering juga transfer pricing digunakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk meminimalkan jumlah pajak yang dibayar melalui rekayasa harga yang ditransfer antar divisi.
Kunci utama keberhasilan transfer pricing dari sisi pajak adalah adanya transaksi karena adanya hubungan istimewa.
Praktik transfer pricing dapat terjadi antar Wajib Pajak dalam negeri atau antara Wajib Pajak dalam negeri dengan pihak luar negeri terutama yang berkedudukan di tax haven countries.
Maliki menyebutkan, untuk mencegah terjadinya praktik penghindaran pajak mellaui transfer pricing, dapat dilakukan melalui ketentuan anti penghindaran pajak dalam peraturan pelaksanaan perpajakan yang ketat.
“Pemerintah bisa membuat kesepakatan dengan wajib pajak mengenai konsep dan ketentuan dalam hal menentukan harga transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa,” terang dia.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) John Hutagaol menambahkan, pemerintah telah melakukan berbagai persiapan untuk mencegah terjadinya praktik transfer pricing secara berkelanjutan.
“Aksi terbaik adalah setiap negara harus menerapkan tax transparancy. Indonesia mendukung agar transparansi itu diutamakan,” imbuhnya.
(drk/ang) www.detik.com