Investigasi Hukum

Rokok, tax amnesty, dan budaya ngeles

Banyak analis yang kehilangan daya analisis, sehingga dilupakan oleh media. Atau analis yang membantu menggoreng saham, kemudian menghilang. Bagi saya, sekadar bertahan, dipercaya rekan-rekan media dan pelaku pasar di Bursa Efek Indonesia sebagai seorang analis adalah prestasi yang perlu saya syukuri.

Selain memiliki kemampuan memprediksi pergerakan harga, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan menulis, seorang analis ternyata juga memiliki keahlian “ngeles”. Maksudnya, memberikan jawaban atau jalan keluar dalam kondisi terjepit.

Pertanyaannya sekarang: apakah langkah “ngeles” seperi itu bisa dibenarkan? Sebagai orang Jawa, saya sudah dididik untuk menghindar menjawab pertanyaan dengan memberikan jawaban atas pertanyaan yang lain, agar bisa menyenangkan hati orang banyak.

Bung Karno saja mampu “ngeles” dari kesalahannya sebagai pengirim romusha dan akhirnya menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia. Meski akhirnya, beliau sendiri juga tidak tahan. Dari berbagai sumber, saya sempat membaca pengakuan dari seorang Soekarno kepada Cindy Adams dalam biografi yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat:

Ngeles itu memang tidak enak. Soekarno juga merasakan hal tersebut. Sehingga dia sadar, harus mengakui, lalu memutuskan untuk mengakhirinya.

Contoh-contoh ngeles lain? Jelas masih banyak lah. Dulu kita pernah melihat ada pemimpin yang bilang bahwa dirinya tidak korupsi, tapi anak-anaknya kemudian menguasai ini dan itu.

Dulu ada pemimpin yang mendukung gerakan anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), tapi sementara mendirikan partai yang orang-orang kuncinya memiliki hubungan keluarga dengan dirinya. Apakah ngeles itu akan berhenti? Sepertinya tidak.

Pemerintah jago ngeles

Rokok itu berbahaya bagi kesehatan manusia. Rokok membunuh manusia melalui berbagai penyakit yang ditimbulkannya. Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.

Tapi, pendapatan pemerintah dari cukai rokok, semakin hari malah semakin meningkat. Jumlah perokok juga semakin hari semakin bertambah, penghasilan perusahaan rokok, semakin hari juga semakin besar. Orang-orang terkaya di Indonesia, sebagian besar juga karena industri rokok dan berjualan rokok.

Jadi, terkait dalam masalah rokok ini, pemerintah terlihat seperti jago ngeles yang canggih. Di satu sisi, pemerintah membuat aturan yang ketat tentang rokok, termasuk periklanan, distribusi, dan lain-lain. Tapi di sisi lain, pemerintah juga memperoleh pendapatan yang besar dari situ. Lantas apa solusinya?

Itu sebabnya muncul wacana, bahwa pemerintah akan menetapkan harga rokok sebesar Rp 50.000 untuk setiap bungkus. Ini sebenarnya bagus.

Saya yakin, dengan kebijakan tersebut, maka jumlah perokok bakal jauh berkurang. Sebagai catatan, saya berasal dari keluarga pengidap penyakit asma. Kakek saya meninggal karena penyakit asma, ayah saya mantan perokok meninggal karena asma. Saya sendiri mulai merokok sejak kelas 5 SD dan berhenti tahun 2002.

Masyarakat, terutama di level bawah, akan belajar melakukan pembelanjaan selain untuk membeli rokok. Dulu ketika berhenti merokok, saya baru sadar bahwa sekitar 5% dari pendapatan saya telah saya habiskan untuk membeli rokok. Saya “menemukan” uang dalam jumlah yang tidak sedikit, ketika saya berhenti merokok.

Langkah mengerek harga rokok Rp 50.000 sebungkus sepertinya akan mendapatkan tentangan berbagai pihak. Pihak proletariat atau pro-rakyat akan meneriakkan nasib petani, buruh rokok, saluran distribusi dan pedagang rokok. Mereka yang pro-rakyat akan menentang secara keras program Rokok 50.000 ini.

Eh, tapi ini rakyat yang mana? Rakyat yang menjadi anggota dari 10 orang terkaya Indonesia itu? Rakyat petani rokok? Atau rakyat korban asap rokok? Berapa perbandingan antara jumlah korban perokok dengan jumlah mereka yang ada dalam industri rokok ini?

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah jika harga rokok Rp 50.000 per bungkus, masyarakat akan berhenti merokok total? Sepertinya tidak. Rokok 50.000 tak akan menghentikan orang merokok. Orang hanya akan mengurangi jumlah rokok secara signifikan. Industri rokok mungkin akan berkurang, tapi menurut saya, terlalu naf apabila ada yang bilang rokok 50.000 akan mematikan industri rokok.

Pertanyaan berikut, memangnya kondisi ekonomi sekarang sedemikian bagus, sehingga pemerintah bisa mengeluarkan aturan sedrastis itu? Siapa yang akan menerima ledakan pengangguran jika industri rokok susut terlalu cepat?

Sekarang juga sedang musim orang bilang “Saya tidak kaya”. Tapi, tanah di mana-mana dan menguasai berbagai aset yang diatasnamakan orang lain. Ini sebenarnya juga salah satu bentuk ngeles di republik ini. Bentuk ngeles seperti ini, yang kemudian ingin diatasi pemerintah dengan amnesti pajak.

Melalui amnesti pajak, pemerintah mencoba berkata: akuilah kekayaanmu, akuilah bahwa dirimu kaya dengan membayar sejumlah uang. Pemerintah tidak akan menanyakan asal-usul dari kekayaanmu, selama kamu mau mengaku dirimu kaya.

Akankah berhasil? Akankah mereka yang selama ini jago ngeles mau mengakhiri kedigdayaan mereka? Berhasil atau tidak, itu menambah jumlah uang berputar dalam di sistem perekonomian Indonesia.

?>