Sejarah organisasi-organisasi besar selalu diisi dengan kisah keberhasilan orang hebat. Negara adidaya lahir dari perjuangan pahlawan-pahlawan legendaris. Sama halnya perusahaan-perusahaan raksasa muncul dari perjalanan heroiktokoh pendiri dan pendahulunya. Ada organisasi yang tetap eksis dan berkibar, meskipun telah ditinggalkan sosok pahlawannya. Tapi, ada juga organisasi yang berjalan tertatih-tatih bahkan hingga mati tak terdengar, setelah tak diurus lagi oleh sang punggawa.
Kebetulan saya adalah penggemar kompetisi sepakbola, khususnya Liga Inggris yang dikenal juga dengan Barclays Premier League (BPL).
Musim kompetisi BPL kali ini berjalan tak seperti biasa, karena banyak kejutan yang terjadi hingga pekan-pekan akhir kalender pertandingan. Tim-tim unggulan, seperti Chelsea, Arsenal, dan Manchester City justru, berjalan terseok untuk meraih posisi empat teratas papan klasemen. Justru tim underdog, seperti Leicester City (yang musim sebelumnya berjuang untuk lolos dari degradasi) melaju konsisten dan mantap untuk memimpin puncak klasemen.
Dan, yang paling menarik tentunya adalah tim Manchester United (MU), yang hingga tiga musim sebelumnya menjadi penguasa dominan kompetisi bola di daratan Inggris. Adalah pelatih bernama Sir Alexander Chapman Ferguson (dikenal juga dengan Fergie), yang selama masa kepelatihannya di MU pada periode 1986-2013, berhasil mempersembahkan 38 piala kepada tim berjuluk Setan Merah itu. Di antara 38 piala tersebut adalah 13 piala Premier Leagues, lima piala FA, dan dua piala UEFA Champions Leagues. Pada era kepemimpinannya, Manchester United praktis menjadi tim sepakbola yang paling berwibawa dan disegani di tanah Inggris Raya.
Namun, sejak Fergie memutuskan untuk pensiun dari kursi pelatih pada tahun 2013, Manchester United menjalani periode yang sulit.
Selama tiga tahun, mereka sudah berganti pelatih dua kali, masing-masing David Moyes dan Louis van Gaal. Yang terakhir inipun sekarang sedang disorot tajam, bahkan disoraki oleh sebagian penggemar untuk diganti oleh pelatih lainnya.
Alasannya sederhana saja, karena MU tak kunjung menunjukkan performanya secara konsisten. Jangankan untuk memenangkan piala, untuk finis sebagai tim papan atas ataupun tim unggulan saja tampak begitu sulit.
Tak bisa dipungkiri, jejak kehebatan Fergie secara personal begitu kuat tertancap di dalam deretan prestasi MU. Karisma pribadi Fergie tanpa disadari telah mengatasi dan melampaui kekuatan kolektif MU sebagai sebuah institusi.
Mesti dipersiapkan
Semua orang tentunya sudah mahfum, untuk hidup dan bersaing secarasustainable, sebuah organisasi harus melakukan proses institusionalisasi (pelembagaan) kualitas-kualitas yang ada di dalam diri tokoh ataupun pemimpinnya. Institusionalisasi terjadi dengan baik saat nilai-nilai sang pemimpin terlembagakan menjadi kultur kolektif organisasi.
Lalu, saat cara kerja sang tokoh terlembagakan menjadi sistem tata-kelola organisasi. Juga saat prestasi individual sang legenda terlembagakan menjadi kinerja kolektif organisasi.
Proses pelembagaan seperti ini bukanlah hal yang bisa terjadi secara alamiah, melainkan mesti dipersiapkan dengan seksama. Baik persiapan dari diri sang tokoh pemimpin maupun dari organisasi itu sendiri.
Kembali kepada kasus MU, sesungguhnya Fergie sudah mempersiapkan diri untuk turun dari takhta kepelatihan secara baik. Fergie turun atas kesadaran diri, ketika sang tokoh masih dalam keadaan sehat dan setelah mempersembahkan piala kemenangan Liga Inggris kepada klub. Ia tidak hengkang karena dipecat oleh manajemen klub ataupun dipaksa mundur oleh kondisi force majeur semisal kesehatan.
Dia mengundurkan diri dengan kesadaran bahwa itulah saat terbaik baginya untuk menikmati hidup sebagai penggemar dan penonton bola biasa, dan keinginan untuk mengalihkan tongkat estafet kepada pelatih penerus.
Namun apa mau dikata, proses suksesi yang dipersiapkan (dengan matang) seperti ini pun tampak agak terlambat. Klub Setan Merah telah melewati tiga tahun (musim kompetisi) sejak pengunduran Fergie, dan hingga saat ini masih menunjukkan kinerja yang tak konsisten. Sekalipun, klub telah membelanjakan ratusan juta euro untuk mendatangkan pelatih dan pemain-pemain terbaik dunia.
Figur dan karisma Fergie yang berkuasa selama 27 tahun telah menancapkan jejak pengaruh yang dalam di institusi MU. Dengan kata lain, personalisasi Fergie begitu kuatnya, bahkan mengalahkan proses institusionalisasi kualitas dan kinerja di tubuh MU sendiri.
Fergie telah mundur dengan cara yang baik dan elegan, namun tampaknya waktu (timing) dan persiapan yang dilakukannya tak cukup mampu mengantar MU melewati masa transisi dengan kinerja yang sama baiknya pula.
Menjadi pertanyaan bagi kita semua, kapankah saat terbaik bagi seorang tokoh untuk mundur dari panggung kepemimpinan, agar organisasi tak terjebak ke dalam fenomena personalisasi sang pemimpin yang begitu pekat?
Seorang tokoh (pemimpin) yang mengasuh sebuah organisasi ibarat figur ibu yang menyusui anaknya. Tak usah dipaksa-paksa, seorang ibu pasti dengan senang hati dan ikhlas menyusui anaknya, karena itulah ungkapan cinta tulusnya kepada sang bayi. Demikian juga, tak usah disuruh-suruh, sang bayi juga pasti dengan senang akan menyusu kepada ibunya, karena di sana ada kenyamanan dan kehangatan.
Tapi, menginjak usia tertentu, tak ada pilihan lain bagi sang ibu kecuali memberanikan dan memaksa dirinya untuk menyapih sang anak dari pelukannya. Keberanian dan kerelaan untuk menyapih ini sangat diperlukan, jika memang kita ingin melihat sang anak bertumbuh secara sehat dan mandiri.
Hal yang sama berlaku bagi organisasi. Untuk menghindari personalisasi yang begitu kuat, sang tokoh juga harus tahu kapan saatnya menyapih organisasi yang ikut dibesarkannya. Masalahnya, seperti kata pepatah bijak: the old never goes quietly. Itulah tantangannya. (kontan.co.id)