Setelah ramai dilakukan di akhir 2008 lalu, rencana beli balik saham atau buyback kembali marak diperbincangkan minggu lalu. Dana Rp 10 triliun disiapkan untuk aksi buyback 13 emiten BUMN. Sejauh mana buyback dapat memengaruhi harga dan indeks saham kita? Apa kata literatur keuangan soal ini?
Secara konsep, buyback saham adalah pembelian saham kembali oleh perusahaan yang menerbitkannya. Opsi ini hanya tersedia bagi emiten yang meraih laba dan punya kas besar yang belum ada peruntukannya. Tapi, jika yang melakukan buyback bukan perusahaan penerbit saham itu, aksi ini tak dapat disebut buyback.
Dalam kasus ini, tidak ada kas yang keluar dari perusahaan dan tidak ada saham perusahaan yang diperoleh kembali (treasury stock). Pemahaman ini penting mengingat ada saja pelaku pasar yang tidak bisa membedakan buyback dari pembelian saham biasa, meski keduanya sama-sama mengerek permintaan saham dan berpotensi menaikkan harga dan indeks saham.
Perusahaan yang memperoleh laba dapat dibagi dua kelompok, yaitu yang punya kas dan yang tidak. Untuk yang laba tetapi tak punya kas, sama seperti perusahaan yang rugi, pilihan buyback saham atau dividen tunai juga tak tersedia. Otoritas pasar modal tak akan mengizinkan emiten menggunakan utang atau penerbitan saham baru untuk mendanai buyback.
Perusahaan yang untung dan punya kas besar juga belum tentu bisa buyback jika tak ada kas bebas yaitu kas yang belum dicadangkan untuk tujuan tertentu seperti pelunasan utang dan obligasi. Selanjutnya, perusahaan yang untung dan punya kas bebas dapat memutuskan payout atau tidak. Yang tak ingin payout sangat mungkin akan memakai kasnya untuk investasi di proyek baru atau menambah saldo kasnya demi mengerek likuiditas.
Berdasarkan tahapan di atas, buyback saham mensyaratkan adanya laba, kas bebas yang belum dicadangkan, dan keputusan payout. Berbeda dengan dividen tunai yang dibayar ke seluruh pemegang saham, beli balik saham hanya kepada sekelompok investor tertentu.
Mendongkrak EPS
Untuk memberikan secercah harapan di tengah gejolak pasar belakangan ini, OJK mengizinkan emiten buyback tanpa melalui rapat umum pemegang saham (RupS). Ini dilakukan OJK mengingat peraturan saat ini mensyaratkan emiten dapat melakukan buyback jika direstui pemegang saham. Sebelumnya, pada 2008, aksi buyback memerlukan izin otoritas bursa.
Aksi buyback saham terbukti menjadi pilihan saat sulit karena dapat menggairahkan pasar melalui peningkatan permintaan yang bermuara pada kenaikan harga saham dan indeks. Pada 2008, IHSG yang sempat terpuruk hingga 1.089 dan ditutup 1.111 pada 28 Oktober 2008, dari 2.746 di akhir 2007, bangkit menjadi 1.355 pada akhir Desember 2008. Minggu lalu, IHSG yang sangat tertekan hingga jatuh ke 4.111 sebelum ditutup di 4.164 pada Senin 24 Agustus 2015, naik menjadi 4.446 di akhir pekan.
Secara akuntansi, buyback saham oleh perusahan sendiri akan menaikkan laba per saham (EPS) karena saham buyback tak berhak atas laba perusahaan atau dividen. Laba bersih yang sama dibagi dengan lebih sedikit saham tentu mengerek EPS yang berujung pada kenaikan harga saham. Dengan skenario ini, pemegang saham lebih untung daripada pembagian dividen tunai karena pajak penghasilan atas capital gain hanya 0,1% final dari hasil penjualan saham ketimbang pajak dividen 10%.
Inilah yang menjadi tujuan buyback saham di BEI. Aksi ini juga untuk mengirim sinyal ke pasar dan investor publik bahwa beberapa emiten serius menjaga harga sahamnya punya fundamental bagus dan kas besar. Tak ada motivasi emiten meraup profit dari aksi ini karena kenaikan (penurunan) harga pasar dari harga buyback dalam akuntansi tak boleh diakui sebagai laba (rugi) tetapi langsung menambah (mengurangi) ekuitas. Menjadi tidak pas jika nanti ada BUMN mengaku untung atau emiten mengeluh rugi karena melakukan buyback.
Namun, aksi ini bisa tak membuahkan hasil sesuai harapan jika sentimen investor begitu negatif sehingga sebagian besar investor tetap menjual sahamnya. Ini terjadi mungkin karena fundamental emiten memburuk. Jika begini, aksi jual tetap besar dan buyback akan sia-sia. Maksudnya, jika dana asing dan domestik yang ingin keluar dari satu emiten atau bursa kita benilai hingga triliunan rupiah, sementara dana buyback yang disiapkan hanya beberapa ratus miliar untuk satu emiten, aksi ini hanya menjadi penyedia likuiditas bagi investor yang ingin keluar dari bursa kita.
Intinya, jika tak hati-hati, buyback justru dapat menekan harga saham ketika diguyur kembali ke pasar oleh emiten untuk memperoleh kas saat dibutuhkan. Itulah sebabnya banyak emiten menunggu waktu tepat untuk buyback. Jika timing tak tepat, dana triliunan rupiah yang mestinya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan belanja modal dan kapasitas perusahaan hanya digunakan untuk intervensi pasar tanpa hasil.