Investigasi Hukum

100.000 Pekerja Sudah Kena PHK?

KOMPAS.com — Berapa banyak tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) gara-gara ekonomi sulit tahun ini? Satu pertanyaan di atas akan memunculkan beragam jawaban jika diajukan kepada para pemangku kepentingan.

Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) menyebutkan, angkanya sekitar 27.000 orang. Namun, kalangan buruh, pengusaha, dan ekonom yakin bahwa angkanya jauh di atas itu. Pasalnya, banyak perusahaan yang tidak melaporkan PHK ke Kemenaker. Di industri tekstil saja, angkanya sudah lebih dari 36.000 orang.

Berkaca dari data di industri tekstil, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, jika ditambah dengan sektor lain, bukan mustahil angkanya saat ini sudah lebih dari 100.000. Dampak PHK sebanyak ini tak lagi bisa dianggap enteng. Jika tidak segera dicarikan solusi, “Pilkada serentak di tengah besarnya PHK akan berpotensi konflik,” ujar dia. (baca juga: “Ada Potensi PHK 100.000 Tenaga Kerja”)

Belum lagi perkiraan ke depan bahwa jumlah orang yang kehilangan pekerjaan bakal terus bertambah. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebutkan, masih ada potensi PHK sekitar 50.000 orang. Ini berasal dari karyawan yang sudah dirumahkan sebelum Idul Fitri pada Juli lalu dan yang mengalami pengurangan jam kerja. Perusahaannya berasal dari industri sepeda motor, baja, dan industri elektronik. “Pekerja-pekerja itu sudah mulai dipanggil-panggilin mau PHK,” kata Said.

Ekonomi Indonesia memang masih akan terjepit. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dalam beberapa kesempatan menyebutkan, tekanan belum akan mengendur hingga akhir 2015.

Data terbaru soal ekspor impor yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, ada gejala perbaikan di sisi perdagangan luar negeri. Dibanding bulan Juli, nilai ekspor dan impor mengalami kenaikan. Ekspor naik 10,79 persen menjadi 12,70 miliar dollar AS dan impor naik 21,69 persen menjadi 12,27 miliar dollar AS. Yang menjadi sinyal baik, kata Kepala BPS Suryamin, lonjakan impor dipicu oleh arus masuk barang modal.

Memang, masih ada surplus sebesar 433,8 juta dollar AS. Jika dihitung sejak awal tahun, total surplus neraca perdagangan mencapai 6,22 miliar dollar AS dan menjadi surplus perdagangan tertinggi sejak 2012. Yang mesti diingat, rekor ini tercipta bukan karena ekspor yang tumbuh luar biasa, melainkan akibat neraca impor yang merosot dalam.
Tambah banyak
Dengan mengesampingkan perdebatan soal batasan garis kemiskinan di Indonesia yang jauh dari standar dunia, jumlah orang miskin versi BPS juga meningkat dalam enam bulan hingga Maret 2015. Data yang dipublikasikan 15 September 2015 itu mencatat, jumlah orang miskin mencapai 28,59 juta orang, bertambah 860.000 orang dibanding September 2014.

Penyebabnya, lanjut Suryamin, antara lain kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) serta tarif listrik. Plus, lonjakan harga di tingkat eceran, seperti beras (naik 14,48 persen), cabai rawit (26,28 persen), dan gula pasir (1,92 persen).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui, jumlah penduduk miskin bisa bertambah banyak dengan mudah. Selain faktor kehilangan atau penurunan penghasilan, harga pangan yang tak bisa dikendalikan bisa menyeret golongan penduduk yang berstatus hampir miskin bisa jadi benar-benar miskin. “Harga pangannya enggak turun, ya, dampaknya yang miskin naik. Sangat sederhana hubungannya,” kata Darmin.

Pemerintah, lanjut Darmin, sudah memprediksi bertambahnya jumlah orang miskin ini. Makanya, anggaran dana desa akan dikucurkan untuk proyek-proyek yang banyak menyerap tenaga kerja di pedesaan.

Di sisi yang lain, program beras sejahtera (rastra) diguyur 14 kali dalam setahun. “Apa bisa menyelesaikan seluruhnya? Mungkin enggak seluruhnya, tapi membantu,” lanjutnya.

Realisasi dan efektivitas program tadi memang masih harus dinantikan. Pasalnya, selama ini kemampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja baru sangat terbatas. Boro-boro memberikan peluang kerja bagi korban PHK, untuk menampung 7,45 juta orang pengangguran yang sudah eksis sejak lama saja masih kesulitan. Ini belum ditambah dengan 17,69 juta orang golongan pekerja keluarga yang tidak mendapatkan upah apa pun, baik uang maupun barang.

Tengok saja, realisasi investasi yang masuk sepanjang semester I–2015 memang menambah jumlah penyerapan tenaga kerja. Pada paruh pertama tahun ini, realisasi penyerapan tenaga kerja Indonesia dari investasi asing dan dalam negeri mencapai 686.174 orang. Angkanya naik 12,31 persen dari periode yang sama tahun lalu, yang mencapai 610.959 orang.

Meski bertumbuh, realisasi penyerapan tenaga kerja tadi rasa-rasanya bakalan sulit mencapai target yang dicanangkan pemerintah sebelumnya, yakni sebanyak 2 juta tenaga kerja. Secara teoretis, target itu tergolong wajar. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen setahun, di atas kertas, mestinya bisa tercipta 2 juta lapangan kerja. Persoalannya, kualitas pertumbuhan ekonomi memang makin menurun.

Maka, wajar kiranya jika Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo mengapresiasi kehadiran perusahaanstart-up semacam Go-Jek, GrabBike, Blu-Jek, dan sebagainya. “Kayak Go-Jek ini, secara tidak langsung menyerap tenaga kerja yang di-PHK,” ujar Sasmito. (baca juga: Ojek Modern, dari Go-Jek hingga Ojek Syariah)

Dus, alih-alih mempersoalkan start-up tadi, pemerintah mestinya mendorong lebih banyak start-up seperti ini. Setuju? (Silvana Maya Pratiwi, Tedy Gumilar)

?>